Minggu, 07 Desember 2014

AL-GHULUL & AL-GHASYSY (KORUPSI MENURUT ISLAM)





URAIAN SEKILAS KORUPSI MENURUT ISLAM

Dalam literatur Islam tidak terdapat istilah yang sepadan dengan korupsi, namun korupsi dapat dikategorikan sebagai tindak kriminal (ma’shiyat) dalam konteks risywah (suap), saraqah (pencurian), al-ghasysy (penipuan), dan khiyânah (pengkhianatan). Dalam analisis fenomenologis, menurut S.H. Alatas, korupsi mengandung dua unsur penting yaitu penipuan dan pencurian. Apabila bentuknya pemerasan itu berarti pencurian melalui pemaksaan terhadap korban. Apabila berbentuk penyuapan terhadap pejabat itu berarti membantu terjadinya pencurian. Jika terjadi dalam penentuan kontrak, korupsi ini berarti pencurian keputusan sekaligus pencurian uang hasil keputusan itu.

Namun dalam konsepsi hukum Islam sangat sulit untuk mengkategorikan tindak pidana korupsi sebagai delik sirqah (pencurian). Hal ini disebabkan oleh beragamnya praktek korupsi itu sendiri yang umumnya tidak masuk dalam definisi sariqah (pencurian). Namun jika dalam satu kasus tindak pidana korupsi telah sesuai dengan ketentuan sariqah, maka tidak diragukan lagi ia terkena ketentuan hadd sariqah dan pelakunya dikenakan hukum potong tangan. Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah, dengan lugas mengkategorikan bahwa jika seseorang mengambil harta yang bukan miliknya secara sembunyi-sembunyi dari tempatnya (hirz mitsl) maka itu dikategorikan sebagai pencurian, jika ia mengambilnya secara paksa dan terang-terangan, maka dinamakan merampok (muhârabah), jika ia mengambil tanpa hak dan lari, dinamakan mencopet (ikhtilâs), dan jika ia mengambil sesuatu yang dipercayakan padanya, dinamakan khiyânah.

Lebih lanjut dijelaskan korupsi secara kasuistik (menurut madzhab Syafi’iyyah) lebih tepat dikatagorikan dalam Pengkhianatan, Pencurian harta rakyat, dan penipuan Terhadap Harta.

Wahai Shahabat AL-FATA yang di Rahmati Allah SWT,..
Izinkan sedikit kami menyinggung cerita kejadian yang kami alami dalam beberapa bulan ini di Tahun 2014, Pejabat yang berwewenang di salah satu Dinas yang berhubungan dengan Dayah/Pesantren datang ke Dayah kami untuk memberi bantuan dana Pembangunan Aula (Lihat Gambar diatas). seolah-olah Pejabat itu ingin membantu dengan setulus hati walau dananya dari OTSUS Aceh.

Singkat cerita, sesudah kami tanda tangan kontrak tahap I, mereka mengancam akan mengalihkan dana tersebut jika kami tidak memberi untuk mereka 30% dari Dana bantua OTSUS tersebut.

Dengan hati amarah dan jiwa marah lantang kami jawab pada mereka, Jika kalian ambil 1% saja maka tidak usah kalian amprah dana untuk kami, silakan kalian bawa untuk ibu kalian dan bawa pulang ke kubur. (maaf sahabatku semua bukan kejam tapi sangking marahnya kepada mereka). inilah yang terjadi di Negara kita ini. Padahal mereka juga tahu tentang hukum yang akan mereka lakukan, dan apa akinbatnya nanti. 

Imam Asy-Syafi`i pernah ditanyai tentang kasus seseorang yang mengambil harta pampasan perang (ghanîmah) sebelum dibagikan. Imam Asy-Syâfi`i menjawab, bahwa orang tersebut tidak dipotong tangannya, tetapi harga barang itu (Al-Qimah) menjadi hutang baginya jika barangnya telah dihabiskan atau rusak sebelum dikembalikan. Jika orang yang mengambil itu jâhil (tidak tahu keharamannya), maka harus diberitahukan dan tidak boleh disiksa, kecuali –boleh disiksa- jika ia mengulangi kembali perbuatannya.

Nah.. yang terjadi di Negara kita sekarang ini bukan sekali mereka kurupsi akan tetapi malah sudah menjadi sarapan di setiap pagi hari oleh karena itu para koruptor hukumnya disiksa sampai mati.

Dasar hukum yang digunakan Imam Asy-Syâfi’î adalah suatu riwayat ketika Umar ibn Al-Khaththab mencurigai salah seorang shahabat. Ketika itu salah seorang dari kelompok musyrikin yang sedang diperangi (dikepung) bernama Hurmuzan turun menemui Umar. Dalam dialognya dengan Umar, kata-kata Hurmuzan meyebabkan kemarahan Umar sehingga hendak dibunuh, lalu shahabat yang mendampingi Hurmuzan turun membela Hurmuzan agar tidak dibunuh. Pada saat itu Umar curiga kalau shahabat tersebut telah menerima suap dari Hurmuzan, Umar mengancam akan menghukum siksa (Al-`Uqûbah) sahabat tersebut kalau ia tidak sanggup menghadirkan saksi. Kemudian ia mencari orang yang akan bersaksi bahwa tidak menerima sesuatu pun dari Hurmuzan, akhirnya ia mendapatkan Zubayr ibn Al-Awâm yang bersedia menjadi saksinya.

Dari `illat hukum di atas, maka penalaran yang digunakan adalah sulitnya dilakukan penelusuran kembali. Karena pencurian dilakukan secara sembunyi-sembunyi, maka sangat sulit untuk ditelusuri, oleh karena itu perlu ditetapkan hukum yang dapat mencegah orang untuk melakukannya. Berbeda dengan copet, rampok dan khianat, pelakunya dapat dikenali dan mudah ditelusuri kembali, di samping itu juga dilakukan secara terang-terangan sehingga cenderung lebih mudah ditumpas saat mereka melakukan aksinya.

Selanjutnya korupsi juga bisa dikatagorikan dalam penipuan yang dalam istilah fiqihnya disebut dengan Al-Ghasysy. Karena dalam tindak pidana korupsi, penipuan merupakan bagian yang tidak terpisah darinya, manipulasi data, buku, daftar dan sebagainya adalah termasuk tindak penipuan.

*****

Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa tindak pidana korupsi menurut mayoritas ulama Syafi’iyyah dikatagorikan dalam Al-Ghulul (pengkhianatan terhadap harta yang diamanahkan) dan Al-Ghasysy (penipuan) maka secara substansinya korupsi dikembalikan pada hukum Al-Ghulul dan Al-Ghasysy itu sendiri.

A.     Hukum Al-Ghulul
Berkaitan dengan masalah al-ghulul, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَغُلَّۚ وَمَن يَغۡلُلۡ يَأۡتِ بِمَا غَلَّ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفۡسٖ مَّا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ ١٦١ 

Artinya:

"Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya” (Surah. Ali Imran: 161).

 Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang berlaku zhalim (khianat dalam masalah harta) sejengkal tanah maka kelak pada hari kiamat akan digantungkan tujuh lapis bumi di lehernya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dan masih lainnya yang menjelaskan tentang keharaman ghulul dan ancaman yang berat bagi para pelakunya pada hari kiamat.

Mengenai hukuman bagi pelaku Al-Ghulûl (berkhianat dengan mengambil harta ghanîmah sebelum dibagikan), Imam Asy-Syâfi’î pernah ditanyai, apakah ia disuruh turun dari tunggangannya dan berjalan kaki, dibakar pelananya atau dibakar harta bendanya. asy-Syâfi’î menjawab: “Tidak di hukum (`Iqâb) seseorang pada hartanya, tetapi pada badannya. Sesungguhnya Allah menjadikan Al-Hudûd pada badan, demikian pula Al-`Uqûbât (sanksi), adapun atas harta maka tidak ada `uqûbah atasnya.

Jenis-jenis hukum ta`zîr yang dapat diterapkan bagi pelaku korupsi adalah; penjara, pukulan, menampar, dipermalukan (dengan kata-kata atau dengan mencukur rambutnya), diasingkan, dan hukuman cambuk di bawah empat puluh kali. Khusus untuk hukuman penjara, Qalyûbî berpendapat bahwa boleh menerapkan hukuman penjara terhadap pelaku maksiat yang banyak memudharatkan orang lain dengan penjara sampai mati (seumur hidup).

B.     Hukum Al-Ghasysy
Berkaitan dengan masalah penipuan (al-ghasysy), Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang menipu maka dia bukanlah dari golongan umatku.” (HR. Muslim dan yang lainnya).

Alhasil dari dua hukum tersebut maka koruptor mendapat hukuman yang cukup berat di dunia lebihnya lagi di akhirat.

Semoga Allah menyelamatkan kita dari tindakan korupsi di dunia ini serta menyelamatkan kita dari siksaan-Nya pada hari kiamat. Wallahu A’lamu bish Shawab.